Raden Ajeng Kartini Meninggal Karena Apa
Kartini Day Declared National Holiday
In Indonesia, April 21, Kartini's birthday, is a national holiday that recognizes her as a pioneer for women's rights and emancipation. During the holiday women and girls don traditional clothing to symbolize their unity and participate in costume contests, cook-offs, and flower arrangement competitions. Mothers are allowed the day off as husbands and fathers do the cooking and housework. Schools host lectures, parades are held, and the women's organization Dharma Wanita specially marks the holiday.
In more recent years criticism has arisen regarding the superficial observance of Kartini Day. Many now chose not to commemorate it, and it has increasingly been eliminated from school calendars. What saddens historians and activists is that Kartini has become a forgotten figure for the younger generation, who cannot relate to the achievements she wrought in a repressive society that is now almost forgotten. Historians have also debated the role Kartini herself played in promoting women's emancipation. Other than her letters, some have argued that she was a submissive daughter, feminine but not necessarily a feminist.
The film biography R. A. Kartini was produced to highlight her efforts to promote women's emancipation and education. Based on her published letters as well as memoirs written by friends, the film presents the two aspects of Kartini's life: her brief public life which had minimal effect, and her letters which, after her death, had profound influence on women all over the world. The film, written and directed by Indonesian filmmaker Sjuman Djaya, recreates Kartini's family life, ambitions, and the historical context of life under Dutch colonialism. Kartini is also remembered through businesses inspired by her vision. Kartini International, based in Ontario, Canada, advocates for women's education and rights, and won the 2000 Canadian International Award for Gender Equality Achievement for its work.
Kartini, R. A., Letters from Kartini: An Indonesian Feminist, 1900-1904, Monash Asia Institute, 1994.
—, On Feminism and Nationalism: Kartini's Letters to Stella Zeehandelaar, 1899-1903, Monash Asia Institute, 1995.
Palmier, Leslie, Indonesia, Walker & Co., 1965.
Jakarta Post, April 21, 2001; April 20, 2002.
Chaniago, Ira, "Raden Ajeng Kartini—A Pioneer of Women's Education in Indonesia," University of New England Web site,http://www.une.edu.au/unepa/Gradpost/gp_9.3web.pdf (December 23, 2003).
Discover Indonesia Online,http://indahnesia.com/Indonesia/Jawa/ (December 23, 2003).
Monash Asia Institute Web site,http://www.arts.monash.edu.au/mai/ (December 23, 2003).
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau acap disapa Kartini merupakan sosok pahlawan Indonesia yang gigih memperjuangkan hak-hak perempuan. Cita-cita luhur Kartini ingin menghapuskan penderitaan perempuan yang terkungkung dalam tembok tradisi dan adat-istiadat masyarakat feodal-patriarkal Jawa. Kala itu, perempuan selalu menjadi potret tragis yang tidak memiliki kebebasan, seperti pelarangan mengenyam pendidikan, adanya pingitan, hingga harus siap dipoligami oleh suami dengan dalih berbakti.
Kartini, melalui surat-surat yang dikirimkan ke sababat penanya mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat kemajuan kaum perempuan. Ia ingin perempuan memiliki masa depan yang lebih maju, bebas, cemerlang, dan merdeka. Ia menganggap pendidikan merupakan jalur mutlak yang diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan martabat bangsa Indonesia. Baginya, pengajaran kepada perempuan secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.
Atas cita-cita dan perjuangannya melalui pemikiran-pemikiran itu Kartini dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 tentang Penetapan Kartini sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ia merupakan seorang perempuan berdarah ningrat Jawa. Ayahnya yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah wedana Mayong, yang kemudian menjadi Bupati Jepara, sedangkan ibunya bernama M. A. Ngasirah. Sang ibu merupakan seorang putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara.
Putri kelima dari 11 bersaudara ini memang terlahir dari keturunan keluarga cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV menjadi bupati pada usia 25 tahun. Dia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya dengan pelajaran khas Barat, langsung dari seorang guru asli Negeri Belanda.
Sifat progresif kakeknya yang memberikan pendidikan Barat pada putra-putranya, diwarisi oleh sang ayah Sosroningrat. Dia menyekolahkan semua anaknya ke Europese Large School, sekolah gubernemen kelas satu yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan Jawa yang tersohor.
Pada 1885 Kartini mulai bersekolah di Europese Large School (ELS). Di sekolah inilah untuk pertama kalinya Kartini mendapatkan bahan bekal perjuangannya. Setamatnya di ELS, Kartini ingin meneruskan pendidikannya ke Semarang, di Hoogere Burgerschool (HBS). Kartini pernah ditawari untuk sekolah ke Belanda oleh gurunya. Namun, sang ayah tidak lagi memberi izin dan Kartini tak kuasa melawan.
Ia bersekolah hanya sampai usia 12 tahun, dan terpaksa harus keluar untuk menjalani masa pingitan. Masa-masa inilah disebut Kartini bagai ‘dalam penjara’. Kartini tidak banyak bergaul selama masa pingitannya. Justru, ia mulai merenung tentang nasib perempuan yang terkungkung adat dan tidak bisa menentukan masa depannya sendiri.
Dalam masa pingitan tersebut Kartini mengasah pemikirannya dengan banyak belajar seorang diri. Sebab bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon.
Memasuki usia 16 tahun, Kartini dibebaskan dari masa pingitan. Kemudian, ia banyak belajar sendiri. Lantaran menguasai bahasa Belanda, maka ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-temannya yang berasal dari Belanda.
Stella Zeehandelaar, kawan pena Kartini, menyarankan kepada Ir. H. H. van Kol (anggota parlemen Belanda yang satu partai dengan Stella) agar mengunjungi putri-putri Bupati Sosroningrat. Ia menjelaskan bagaimana keinginan Kartini dan Roekmini (adiknya) untuk bisa belajar ke Belanda.
Pada 20 April 1902, van Kol yang didampingi wartawan De Locomotief, Stoll, tiba di Jepara dan disambut dengan sangat ramah oleh keluarga Bupati Jepara. Di sinilah kesempatan van Kol untuk berbincang dengan Kartini, sekaligus membicarakan beasiswa itu. Kartini diminta untuk segera membuat surat permohonan.Berkat peran Van Kol memperjuangkan beasiswa Kartini dalam sidang Tweede Kamer pada 26 November 1902, Menteri Seberang Lautan A. W. F. Idenburg menyetujui untuk memproses beasiswa tersebut.
Kendati jalan sudah terbuka, tapi ia batal ke Belanda karena alasan politis. Alasan itulah yang menjadikan Kartini kembali memilih berkorban demi ketenteraman keluarga dan mengorbankan pamrih pribadi. Lantas, ketika beasiswa dari Belanda akhirnya benar-benar datang, Kartini menyarankan supaya Agus Salim yang berangkat.
Memasuki usia 24 tahun, Kartini menyadari bahwa usahanya untuk bersekolah lagi tak akan pernah terlaksana. Saat ia menunggu keputusan beasiswa dari Batavia, tiba-tiba Bupati Sosroningrat menerima utusan Bupati Djojoadhiningrat dari Rembang yang membawa surat lamaran untuk Kartini.
Kartini tak mampu menolaknya. Ia lantas menyetujui saran ayahnya untuk menikah, dengan berbagai alasan, antara lain, di Rembang ia bisa meneruskan cita-citanya membuka sekolah didampingi seorang suami yang berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan. Ia pun resmi menjadi seorang istri dari duda yang telah memiliki tujuh anak dan dua orang selir.
Oleh MC Kab. Mempawah, Kamis, 27 April 2017 | 08:53 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 2K
Mempawah,InfoPublik – Lebih dari seabad lalu, Raden Ajeng Kartini wafat karena komplikasi saat melahirkan anak pertama.Salah satu pemicunya adalah preeklamsia, yang hingga kini masih menjadi penyebab utama kematian ibu hamil di samping infeksi dan pendarahan.
Terbatasnya teknologi medis saat itu membuat pahlawan nasional asal Jepara ini meninggal muda di usia 25 tahun. “Ironisnya, hingga kini Angka Kematian Ibu atau AKI ternyata terhitung masih tinggi padahal kondisi teknologi dan ilmu pengetahuan makin berkembang,” kata Sekretaris Daerah Mochrizal di sela Peringatan Hari Kartini di Aula Kantor Bupati Mempawah, akhir pekan lalu.
Mochrizal menyebut derajat kesehatan keluarga sangat ditentukan oleh kondisi hidup sehat seorang ibu. Ia menuturkan kesehatan ibu hamil, ibu menyusui, dan ibu nifas adalah masa yang sangat penting untuk menentukan mutu kesehatan ibu dan anak selanjutnya. “Masa-masa tersebut merupakan masa yang rentan bagi para ibu dan dapat mempengaruhi tumbuh-kembang anak,” ujarnya.
Menurutnya, ketika seorang anak terlahir ke dunia, apakah anak tersebut akan menjadi anak yang sehat atau anak yang rentan terhadap penyakit sangat ditentukan oleh kesehatan ibu pada masa-masa kehamilan dan berlanjut saat menyusui.
Karena itu, ia menyebut sehat mulai dari janin dalam kandungan, anak balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia juga perlu diupayakan. Hal itu mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai keadaan sehat. Mochrizal menegaskan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya tidak mungkin dicapai hanya oleh sektor kesehatan. “Karena kesehatan bersifat multidimensi, multidisiplin, dan multisektor sehingga pembangunan kesehatan memerlukan dukungan berbagai sektor terutama dari keluarga,” tuturnya.
Keluarga, Mochrizal meneruskan, merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang menyediakan kebutuhan seluruh anggotanya. Seperti pendidikan dan budi pekerti, kasih sayang, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.
“Artinya keluarga merupakan fundamental bagi pembangunan manusia sekaligus barometer kesejahteraan masyarakat pada umumnya,” ucapnya menerangkan. (MC.Mempawah/Rio/Eyv)
Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber infopublik.id
Raden Ajeng Kartini merupakan pelopor emansipasi perempuan Indonesia. Ia yakin bahwa kaum perempuan diciptakan sama dengan kaum laki-laki dan hanya berbeda dalam bentuk fisik. Maka Kartini berpendapat bahwa pendidikan tidak perlu menjadi hak istimewa kaum pria. Selain itu ia juga memperjuangkan kehidupan sosial yang lebih baik bagi rakyat jelata pada umumnya.
Kartini memang sosok yang gigih dalam memperjuangkan hak perempuan. Bahkan, kisah R.A. Kartini banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah. Berikut ini informasi penting tentang Raden Ajeng Kartini yang perlu kamu tahu.
Penyebab Lain yang Sering Diremehkan
Selain faktor kesehatan, AKI juga disebabkan oleh faktor lain yang sering kali diremehkan. Di antaranya adalah kehamilan di bawah umur, jarak kehamilan yang terlalu dekat, tidak memeriksakan kehamilan, transportasi yang tidak memadai, hingga faktor sosial budaya.
Tak sedikit ibu hamil yang meninggal dunia karena harus menunggu keputusan suami terkait akses kesehatan. Begitu pula dengan minimnya informasi seputar kesehatan reproduksi.
Parents, Kartini meninggal setelah melahirkan di usianya yang masih sangat muda. Semoga kepergiannya bisa menjadi pengingat agar kita mau lebih memperhatikan kesehatan ibu dan janin, ya.
"Buat Saya Hari Kartini Itu Bikin Miris…"
22 Kutipan Inspiratif Ibu Kartini untuk Seluruh Perempuan Indonesia Masa Kini
Lirik dan Makna Lagu Ibu Kita Kartini, Perjuangan Memberdayakan Perempuan!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.
Pengertian AKI menurut WHO
World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menyebut, yang tergolong sebagai kematian ibu adalah kematian selama kehamilan atau 42 hari setelah persalinan. Kasus kematian ibu dikategorikan sebagai AKI apabila penyebabnya berkaitan dengan kehamilan dan bukan karena kecelakaan atau hal lain.
Pada tahun 1990, terdapat 390 perempuan yang meninggal dunia setiap 100.000 kelahiran. Kemudian pada tahun 2015, angka ini menurun menjadi 305 kematian setiap 100.000 kelahiran.
Tahun 2017, Bank Dunia mencatat ada 177 kematian ibu di Indonesia per 100.000 kelahiran. Angka ini masih tergolong tinggi dan bahkan menduduki peringkat AKI tertinggi nomor 3 di ASEAN.
RA Kartini meninggal dunia pada tahun 1904 karena mengalami preeklampsia. Seratus tujuh belas tahun berlalu, faktor utama penyebab AKI di Indonesia masih sama, yakni perdarahan dan tekanan darah tinggi. Faktor lain yang menyebabkan AKI adalah infeksi, aborsi tidak aman, serta komplikasi.
RADEN AJENG KARTINI PELOPOR EMANSIPASI WANITA
Raden Ajeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai RA Kartini adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai pelopor emansipasi wanita. Lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, RA Kartini merupakan putri dari keluarga bangsawan Jawa yang cukup terkenal. Sebagai seorang wanita yang lahir pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, RA Kartini mengalami keterbatasan dalam memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk berkembang. Namun, RA Kartini tidak menyerah dan tetap berjuang untuk mendapatkan pendidikan serta memperjuangkan hak-hak wanita.
Sejak kecil, RA Kartini telah menunjukkan minat yang besar dalam bidang pendidikan. Ia belajar bahasa Belanda dari seorang guru swasta dan membaca banyak buku, termasuk buku-buku yang ditulis oleh para feminis Belanda. Dari situlah, Kartini mulai memiliki pandangan yang lebih luas tentang peran wanita dan hak-haknya. Pada usia 12 tahun, RA Kartini dijodohkan oleh keluarganya untuk dinikahkan dengan seorang bangsawan Jawa yang lebih tua darinya. Namun, RA Kartini menolak perjodohan tersebut dan meminta izin untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda. Meskipun awalnya ia ditentang oleh keluarganya, akhirnya Kartini berhasil meyakinkan ayahnya untuk memberinya izin.
Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah Belanda, RA Kartini bekerja sebagai guru di sekolah pribumi. Di sana, ia berjuang untuk memperjuangkan hak-hak pendidikan bagi wanita Indonesia. Ia juga membuka sekolah untuk perempuan, yang dikenal sebagai Sekolah Kartini, di mana ia mengajarkan bahasa Belanda, seni dan kerajinan, serta keterampilan lainnya.Tulisan-tulisannya yang dipublikasikan di surat kabar dan buku-buku yang ia tulis memperjuangkan hak-hak wanita dan kesetaraan gender. Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" merupakan salah satu karya Kartini yang terkenal, di mana ia menuliskan pemikirannya tentang pendidikan dan emansipasi wanita.
RA Kartini meninggal dunia pada usia yang sangat muda, yaitu 25 tahun, akibat komplikasi persalinan. Namun, perjuangannya untuk memperjuangkan hak-hak wanita dan kesetaraan gender telah memberikan pengaruh yang besar bagi Indonesia dan dunia internasional. Pada tanggal 21 April, Indonesia merayakan hari Kartini, sebagai penghormatan dan apresiasi atas perjuangan RA Kartini. Hari Kartini juga dijadikan sebagai momen refleksi dan inspirasi bagi semua orang, khususnya bagi wanita Indonesia, untuk mengembangkan potensi diri dan memperjuangkan hak-hak yang sama dengan laki-laki.
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari perjuangan dan karya RA Kartini, di antaranya:
Dalam rangka menghormati jasa-jasa RA Kartini, setiap tanggal 21 April di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini. Peringatan ini menjadi momentum untuk mengenang dan mempelajari kembali perjuangan serta karya RA Kartini, serta memperkuat semangat untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender dan kebebasan individu.
Sumber Gambar Dari Google.Penulis: Lusia Rahajeng
Promoted Nationalist Movement
Fearful of losing control over their island territory, the Dutch colonialists believed that knowledge of European languages and education could a be dangerous tool in the hands of the native Javanese. Consequently, they suppressed the activities of the native people, keeping them as peasants and plantation laborers, while at the same time counting on the Javanese nobility to support them in their rule over the region. Only a few of the nobility, Kartini's father included, were taught the Dutch language. Kartini believed that once the Europeans introduced Western culture to the island, they had no right to limit the desire of native Javanese to learn more. Clearly, by the late nineteenth century there was talk of independence. With her letters and her egalitarian fervor, Kartini can be said to have started the modern Indonesian nationalist movement.
Kartini was not proud of being set apart from her countrymen as one of the privileged few of the aristocracy. In her writings she described two types of nobility, one of mind and one of deed. Simply being born from a noble line does not make one great; a person needs to do great deeds for humanity to be considered noble.
Opened School for Girls
Rather than remaining submissive and compliant, like a good Javanese daughter, the unconventional Kartini often had disagreements with her father, and it is believed that her family was, consequently, eager to marry her off. On November 8, 1903, she obeyed her father and married Raden Adipati Joyoadiningrat, the regent of Rembang. Joyoadiningrat was a wealthy man of age 50 who already had three wives and a dozen children. Kartini—who was, at 24 years of age, considered too old to marry well—found herself a victim of polygamy. She was devastated by the marriage, which ended her dream of studying abroad just as she was awarded a scholarship to study in Europe.
Despite the marriage, in 1903 Kartini was able to take a first step toward achieving women's equality by opening a school for girls. With aid from the Dutch government Kartini established the first primary school in Indonesia especially for native girls regardless of their social standing. The small school, which was located inside her father's house, taught children and young women to read and make handicrafts, dispensed Western-style education, and provided moral instruction. At this time, Kartini also published the paper "Teach the Javanese."
Kartini's enthusiasm at educating Indonesian girls was short lived. On September 17, 1904, at the age of 25, she died while giving birth to her son. Kartini is buried near a mosque in Mantingan, south of Rembang.
Akhir Hayat Raden Ajeng Kartini
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Mengutip e-book Sisi Lain Kartini oleh Prof. Dr. Djoko Marihandono, dkk, tiga hari setelah pernikahannya, Kartini pindah ke Rembang untuk memulai hidup baru sebagai seorang ibu. Ia harus membagi waktu untuk suami dan anak-anaknya. Keluarga Bupati Rembang akan berkumpul kembali pada jam empat, dengan aktivitas yang berbeda.
Aktivitas keseharian Kartini mulai terhambat setelah mengandung anak pertamanya. Kondisi fisiknya mulai menurun sehingga beberapa kali menderita sakit. Tanggal 13 September 1903, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki dengan selamat. Setelah melahirkan kondisi Kartini tampak sehat dan berseri-seri, karena itu dokter yang membantu persalinan kembali ke kotanya.
Tanpa sebab yang jelas kondisi tubuh Kartini melemah. Dokter tidak bisa mengembalikan kesehatan tubuhnya. Pada 17 September 1903, akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun. Kematian R.A. Kartini pun sangat mengguncang pikiran suaminya.
Educated at Dutch Schools
As a child, Kartini was very active, playing and climbing trees. She earned the nickname "little bird" because of her constant flitting around. A man of some modern attitudes, her father allowed her to attend Dutch elementary school along with her brothers. The Dutch had colonized Java and established schools open only to Europeans and to sons of wealthy Javanese. Due to the advantages of her birth and her intellectual inclination, Kartini became one of the first native women allowed to learn to read and write in Dutch.
Despite her father's permission to allow her a primary education, by Islamic custom and a Javanese tradition known as pingit, all girls, including Kartini, were forced to leave school at age 12 and stay home to learn homemaking skills. At this point, Kartini would have to wait for a man to ask for her hand in marriage. Even her status among the upper class could not save her from this tradition of discrimination against women; marriage was expected of her. For Kartini, the only escape from this traditional mode of life was to become an independent woman.
Kartini Meninggal Setelah Persalinan, Preeklamsia Jadi Penyebabnya
Apa yang ditulis oleh Kartini menjadi bukti bahwa kematian ibu adalah persoalan serius yang terjadi sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Ironisnya, masalah yang menjadi perhatiannya justru menimpa dirinya sendiri.
Berdasarkan kabar yang beredar di kalangan dokter, Kartini meninggal karena preeklampsia. Kondisi ini disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang biasanya menimpa ibu hamil dengan usia kandungan lebih dari 20 minggu.
“Kartini meninggal habis melahirkan karena preeklampsia. Tekanan darahnya naik dan sempat kejang,” kata dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Ardiansjah Dara, mengutip dari laman CNN.
Salah satu faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia adalah ibu hamil yang berusia lebih dari 40 tahun atau malah kurang dari 20 tahun.
Seperti yang kita tahu, Kartini menikah di usia 24 tahun. Ia dipersunting oleh Bupati Rembang, K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang telah memiliki 3 orang istri.
Secara umum, penyebab kondisi ini masih belum diketahui secara pasti. Preeklampsia biasanya ditandai dengan penyempitan pembuluh darah. Selain itu, faktor seperti kekurangan nutrisi, bayi kembar, hingga penyakit diabetes, lupus, hipertensi, atau penyakit ginjal juga meningkatkan risiko terkena preeklampsia.
Kartini Meninggal Setelah Melahirkan, Bukti Tingginya Angka Kematian Ibu
Sumber: Wikimedia Commons
Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Ia dikenal berkat surat-suratnya yang diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Pikirannya yang melampaui zaman membuatnya dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional. Hari lahirnya lantas diperingati untuk mengingat perjuangan seorang perempuan dalam meraih kemerdekaan.
Di balik sosoknya yang cemerlang, tersimpan kisah pilu mengenai kematiannya. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904 di usia yang sangat muda, yaitu 25 tahun. Berbagai sumber terpercaya menyebutkan, Kartini meninggal dunia 4 hari setelah melahirkan karena mengalami preeklampsia.
Kematian Kartini mengingatkan kita tentang kematian ibu yang hingga kini masih menjadi momok bagi sebagian besar perempuan. Dalam suratnya yang bertanggal 11 Oktober 1901 kepada sahabat penanya Estella Zeehandelaar, Kartini menceritakan bahwa pada zamannnya setiap tahun ada sekitar 20 ribu perempuan meninggal saat melahirkan.
“Dan 30 ribu anak lahir meninggal karena pertolongan bagi perempuan bersalin yang kurang memadai,” tulisnya dalam surat. Ia menulis surat itu ketika mendapatkan tawaran sekolah bidan.