Rakyat Yang Miskin Akan Diubah Menjadi Kaya

Rakyat Yang Miskin Akan Diubah Menjadi Kaya

Video: BPS Catat Inflasi November 2024 Sebesar 1,55% (yoy)

Bukti Yang Kaya Makin Kaya dan Miskin Makin Miskin di RI!

Berdasarkan data BPS, meskipun angka kemiskinan menurun, namun ketimpangan yang diukur dari gini ratio justru naik. Data BPS menunjukkan, pada Maret 2023 gini ratio sebesar 0,388.

Untuk diketahui, gini ratio digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Semakin tinggi koefisien gini, semakin tinggi pula ketimpangan di suatu wilayah.

Gini ratio di Indonesia pada Maret 2023 tersebut, naik dari 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Naiknya tingkat ketimpangan itu bahkan melebihi kondisi sebelum pandemi di mana pada September 2019, Gini ratio mencapai 0,380.

Masih tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,388 per Maret 2023 tersebut, semakin jauh dari target Presiden Joko Widodo (Jokowi) di dalam RPJMN 2024, yang mengharapkan gini ratio Indonesia turun menjadi 0,374.

Meningkatnya angka ketimpangan di Indonesia, kata Atqo disebabkan belum meratanya pertumbuhan ekonomi pada lapisan masyarakat.

Atqo merinci, jika pengeluaran penduduk dikelompokkan menjadi 3 lapisan, yaitu 20% kelompok atas, 40% kelompok menengah dan 40% kelompok masyarakat menengah-bawah, tercermin peningkatan pengeluaran terjadi pada 20% kelompok atas.

"Dengan kata lain, kenaikan ketimpangan (gini ratio) disebabkan naiknya pengeluaran golongan atas. Oleh karena itu ketimpangan naik, khususnya di perkotaan karena pertumbuhan pengeluaran masyarakat menengah-bawah lebih lambat dari yang atas," ujar Atqo.

Saksikan video di bawah ini:

9 Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya. (2 Korintus 8:9)

Rasanya semua orang ingin menjadi kaya, sehingga judul dan ayat di atas terdengar sangat menarik dan dapat dipelintir untuk mengajak orang datang ke gereja atau KKR-KKR. Sering kali ayat-ayat dalam Alkitab dicomot begitu saja untuk kepentingan- kepentingan tertentu, misalnya supaya orang datang ke gereja dan kemudian ditantang untuk memberikan persembahan, bahkan mungkin dengan jumlah yang fantastis. Konteks dari ayat di atas adalah seruan Paulus kepada jemaat Korintus untuk menuntaskan pelayanan kasih untuk menolong jemaat Yerusalem yang hidup dalam kemiskinan (ay. 1- 15; Rm. 15:26). Paulus bahkan menyebutkan mengenai jemaat Makedonia yang sedang hidup dalam penderitaan justru sangat antusias untuk terlibat dalam pelayanan kasih tersebut, sementara jemaat Korintus yang secara ekonomi jauh lebih baik berlambat- lambat untuk mendukung jemaat di Yerusalem. Maka frase supaya kamu menjadi kaya sesungguhnya berbicara tentang kekayaan secara spiritual, yaitu sukacita karena pengampunan yang Tuhan berikan, hidup dalam kebenaran, dan kerelaan hati untuk menolong sesama. Jadi ayat di atas sebenarnya bukan bertujuan untuk memuaskan nafsu kita akan kekayaan, sebaliknya justru untuk mendorong orang untuk rela dipakai Tuhan menjadi saluran berkat bagi orang lain. Jangan biarkan keserakahan akan harta menguasai diri kita. Kalau Kristus yang adalah Tuhan rela merendahkan diri menjadi manusia datang ke dalam dunia untuk menyelamatkan kita, sudah seharusnya kita pun meneladani kerendahan hati-Nya. -VA

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Para ulama sejak dini telah mengenal istilah thariqatul jam'i, yaitu metode untuk menggabung dan mencari titik-titik kesesuaian antara dalil-dalil yang sekilas terasa bertentangan.

Fenomena dalil-dalil yang sekilas terasa bertentangan bukan hal yang asing lagi. Jangankah antara Al-Quran dengan Hadits, bahkan antara sesama ayat Al-Quran sendiri pun kalau dipahami dengan zahirnya saja, begitu banyak ketidak-sesuaiannya.

Mencari titik-titik persamaan dari dua dalil yang sekilas bertentangan bisa dengan berbagai cara, misalnya lewat nasikh mansukh, atau lewat dalil 'aam dan khaash, atau lewat cara-cara lainnya. Pembahasan masalah ini akan lebih tuntas manakala kita mendalami ilmu ushul fiqih. Dan alhamdulillah, para ulama syariah selalu dibekali dengan ilmu yang satu ini, sehingga tidak mungkin muncul kerancuan dalam menarik kesimpulan hukum dalam syariat.

Mestinya para ulama hadits (muhadditsin) juga dibekali dengan ilmu ushul fiqih juga, sebab kalau sekedar meneliti keshahihan suatu hadits, tanpa dibekali dengan metodologi istimbath hukum yang mantap, hasilnya masih sangat mentah. Peran para muhaddits yang tidak menguasai ilmu ushul fiqih jadi sangat terbatas, yaitu mengeluarkan hasil penelitian derajat keshahihan suatu sanad saja. Tetapi tidak bisa sampai kepada kesimpulan akhir dalam masalah hukum seperti wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Sedemikian pentingnya ilmu ushul fiqih ini, sehingga orang awam yang mencoba menelusuri sendiri dalil-dalil Quran dan sunnah dipastikan akan mengalami kebingungan sendiri nantinya. Tentu kita tidak ingin mengalami hal itu bukan?

Muslim Ideal: Yang Kaya atau Yang Miskin?

Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Ketika Allah SWT meluaskan rizqi seseorang, bukanlah sebuah jebakan untuk menyeretkan ke dalam neraka. Dan ketika Allah menyempitkan rizqi hamba-Nya, belum tentu menjadi jaminan atas surga-Nya.

Semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya. Rasa kurang tepat kalau dikatakan bahwa muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Yang ideal adalah yang miskin tapi bersabar dan yang kaya tapi banyak berinfaq serta syukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah dan para shahabatnya.

Abu Bakar as-shiddiq, Utsman bin Al-Affan, Abdurrahman bin Al-Auf radhiwallu anhum adalah tipe-tipe shahabat nabi yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Bahkan Umar bin Al-Khattab pun pernah diberikan kekayaan yang luar biasa berlimpah. Dan yang paling kaya di antara semua itu adalah Rasulullah SAW sendiri.

Siapa bilang Rasulullah SAW itu miskin dan tidak punya penghasilan. Bahkan dibandingkan dengan saudagar terkaya di Madinah, pemasukan Rasulullah SAW jauh melebihi. Memangnya apa sih profesi Rasulullah SAW? Berdagang?

Tidak, beliau SAW bukan pedagang. Dahulu sewaktu belum diangkat menjadi nabi, memang beliau pernah menekuni profesi sebagai pedagang. Tapi profesi itu sudah tidak lagi beliau lakoni setelah itu, terutama setelah beliau diangkat jadi nabi.

Pemasukan beliau adalah dari ghanimah (harta rampasan perang), di mana oleh Allah SWT beliau diberikan hak istimewa atas setiap harta rampasan perang. Bila suatu kota atau negeri ditaklukkan oleh kaum muslimin, maka beliau punya hak 20% dari pampasan perang. Hak ini menjadikan Rasulullah SAW sebagai orang dengan penghasilan terbesar di Madinah. Rampasan perang itu bukan harta yang sedikit, sebab terkait dengan semua aset-aset yang ada di negeri yang ditaklukkan.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Anfal: 41)

Namun semua hak yang beliau terima itu tidak menjadikan beliau hidup di istana megah, atau mengoleksi semua baju termahal dunia, atau makan makanan terlezat di dunia. Semua tidak terjadi pada beliau, sebab semua harta yang beliau dapatkan hanya beliau kembalikan lagi buat para fakir miskin dan orang-orang tak punya yang membutuhkan.

Kehidupan pribadi beliau sendiri terlalu bersahaja, tidur hanya beralas tikar kasar yang kalau beliau bangun, maka masih tersisa bekas cekatannya di kulit beliau. Bahkan pernah 3 bulan dapur rumah beliau tidak mengepulkan asap.

Demikian juga shahabatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, apa sih yang beliau tidak punya dari harta kekayaan dunia. Beliau seorang saudagar besar yang kalau mau menumpuk kekayaan, tidak akan habis dimakan tujuh turunan. Tetapi seluruh harta yang beliau miliki diinfaqkan ke baitul muslimin. Ketika ditanya apa yang disisakan untuk anak dan isteri, beliau hanya menjawab bahwa untuk anak dan isteri adalah Allah SWT. Subhanallah!

Perilaku gemar infaq ini sampai membuat Umar bin Al-Khattab ra iri dengan Abu Bakar. Beliau baru mampu menginfaqkan 50% dari total hartanya saja. Bahkan pernah beliau mendapatkan hak eksklusif atas perkebunan kurma di Khaibar. Kalau dinilai nominal, maka hak itu akan membuatnya sangat kayaraya dan bisa membangun istana termegah di muka bumi dengan biaya pribadi, tetapi beliau justru mewakafkannya di jalan Allah. Padahal perkebunan kurma itu selalu menghasilkan panen tiap tahun sepanjang masa.

Belum lagi Utsman bin Al-Affan ra. yang kemaruk untuk bershadaqah, tidak boleh melihat orang sudah, kepinginnya langsung membantu dengan hartanya yang sangat berlimpah.

Pendeknya, Islam sangat tidak mengharamkan kekayaan, bahkan nabi dan para shahabat boleh dibilang termasuk jajaran milyarder dengan usaha dan jerih payah mereka, tetapi yang menarik kita kaji adalah sikap mereka setelah menjadi milyarder itu sendiri. Tidak ada keinginan untuk bermewah-mewah, apalagi pamer kekayaan. Justru semuanya malah dinafkahkan ke baitul-mal muslimin.

Barangkali inilah yang sulit kita contoh di masa sekarang. Untuk sekedar jadi kaya, bikin usaha, punya beberapa perusahaan multi nasional, mungkin kita bisa mencapainya. Tetapi bisakah kita tetap berada di jalan para shahabat itu ketika kekayaan sudah di tangan?

Tentu ceritanya akan lain bila kita sendiri yang mengalaminya. Sehingga banyak orang yang terjebak dengan situasi ini, lalu lebih memilih hidup miskin saja. Tentu ini masalah pilihan hidup dan selera masing-masing individu.

Yang penting, Islam sama sekali tidak mengharamkan umatnya jadi orang kaya, sebab nabi dan para shahabat pun banyak yang kaya. Tapi kalau tidak mampu jadi orang kaya, hidup jadi orang miskin saja pun tidak apa-apa. Tapi biar pun jadi orang miskin, jangan dikira masalah sudah selesai. Selamanyawa masih dikandung badan, selama itu pula ujian dan cobaan masih harus kita hadapi.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin" adalah pepatah yang kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh Percy Bysshe Shelley dalam esainya A Defence of Poetry (1821, tidak diterbitkan sampai tahun 1840). Dalam esai tersebut dia menulis: "To him that hath, more shall be given; and from him that hath not, the little that he hath shall be taken away. The rich have become richer, and the poor have become poorer; and the vessel of the State is driven between the Scylla and Charybdis of anarchy and despotism."[1]

"To him that hath" dst. adalah referensi ke Matius 25:29 (perumpamaan talenta, lihat juga efek Matius). Pepatah tersebut umumnya diungkapkan dengan berbagai variasi kata-kata, untuk merujuk pada efek kapitalisme pasar bebas yang menghasilkan kesenjangan berlebih.

Wir verwenden Cookies und Daten, um

Wenn Sie „Alle akzeptieren“ auswählen, verwenden wir Cookies und Daten auch, um

Wenn Sie „Alle ablehnen“ auswählen, verwenden wir Cookies nicht für diese zusätzlichen Zwecke.

Nicht personalisierte Inhalte und Werbung werden u. a. von Inhalten, die Sie sich gerade ansehen, und Ihrem Standort beeinflusst (welche Werbung Sie sehen, basiert auf Ihrem ungefähren Standort). Personalisierte Inhalte und Werbung können auch Videoempfehlungen, eine individuelle YouTube-Startseite und individuelle Werbung enthalten, die auf früheren Aktivitäten wie auf YouTube angesehenen Videos und Suchanfragen auf YouTube beruhen. Sofern relevant, verwenden wir Cookies und Daten außerdem, um Inhalte und Werbung altersgerecht zu gestalten.

Wählen Sie „Weitere Optionen“ aus, um sich zusätzliche Informationen anzusehen, einschließlich Details zum Verwalten Ihrer Datenschutzeinstellungen. Sie können auch jederzeit g.co/privacytools besuchen.

Jakarta, CNBC Indonesia - Angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 mengalami penurunan 0,21% poin terhadap September 2022 menjadi 9,36%. Namun angka kemiskinan yang turun itu tidak diiringi dengan turunnya angka ketimpangan atau gini ratio.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, angka kemiskinan yang mencapai 9,36% dari total populasi Indonesia setara dengan 25,90 juta orang.

Jumlah tersebut lebih rendah dari tingkat kemiskinan pada September 2022 yang sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang, juga lebih rendah dari angka kemiskinan pada Maret 2022 yang sebanyak 9,54% atau 26,16 juta orang.

Penurunan angka kemiskinan terjadi saat garis kemiskinan meningkat 2,78% dibandingkan September 2022. Per Maret 2023, garis kemiskinan naik dari Rp 535.000 menjadi Rp 550.458. Peningkatan garis kemiskinan di wilayah perkotaan terpantau lebih tinggi dari wilayah perdesaan.

"Meskipun terus menurun, namun tingkat kemiskinan pada Maret 2023 belum pulih seperti masa sebelum pandemi," jelas Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto dalam konferensi pers, Senin (17/7/2023).

Berdasarkan komponen pembentuk garis kemiskinan, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar, dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Pada Maret 2023, peranan komoditas makanan mencapai 74,21%, sementara bukan makanan hanya sebesar 25,75%.

Adapun penurunan tingkat kemiskinan di perkotaan dan perdesaan, penurunan kemiskinan di perkotaan lebih besar daripada di pedesaan. BPS menyebut masih terjadi disparitas yang sangat besar antara perkotaan dan pedesaan.

"Pada Maret 2023, kemiskinan di perdesaan 12,22%, sementra di perkotaan 7,29%," jelas Atqo. Terjadi penurunan yang sangat dalam pada angka kemiskinan di perkotaan yang turun 0,24% dan angka kemiskinan di perdesaan hanya turun 0,14%.

Adapun tingkat kemiskinan pada Maret 2023 juga masih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada September 2019 atau sebelum pandemi.

"Tingkat kemiskinan di perdesaan pada Maret 2023 lebih rendah 0,39% poin dibandingkan September 2019 atau sebelum pandemi. Sementara tingkat kemiskinan pada Maret 2023 masih tinggi 0,73% poin dibandingkan pada September 2019," kata Atqo lagi.

Pulihnya kondisi ekonomi masyarakat setelah pandemi Covid-19, laju inflasi yang terjaga, perkembangan harga pangan, dan penyaluran bantuan sosial (bansos) yang berlanjut mempengaruhi kondisi kemiskinan pada Maret 2023.